Kamis, 24 September 2009

Hak-hak Pekerja

Hak-hak Pekerja
a. Hak Berserikat
Para pekerja sektor swasta menurut undang-undang bebas membentuk serikat pekerja tanpa izin lebih dulu, dan serikat pekerja boleh menyusun anggaran rumah tangga mereka sendiri serta memilih wakil-wakilnya. Pada bulan Mei, pemerintah meratifikasi Konvensi No. 87 ILO mengenai kebebasan berserikat dan mengeluarkan suatu peraturan baru mengenai pendaftaran serikat pekerja. Peraturan baru itu menghapus persyaratan jumlah anggota dan berbagai persyaratan lain yang sebelumnya menjadi penghambat bagi pendaftaran serikat pekerja. Undang-undang ini mengatur pendaftaran serikat pekerja di tingkat pabrik, kabupaten, provinsi, dan nasional dan mengizinkan serikat pekerja untuk membentuk federasi dan confederasi. Peraturan itu melarang serikat pekerja yang berdasar pada orientasi politik, agama, jenis kelamin, dan kelompok etnik. Peraturan itu menyatakan bahwa organisasi pekerja yang sudah diakui pemerintah, misalnya SPSI dan serikat pekerja tingkat pabrik, harus mendaftar dalam waktu 90 hari. Sejak peraturan pendaftaran serikat pekerja itu mulai berlaku, paling tidak sembilan serikat kerja baru atau yang sebelumnya tidak diakui mulai mengorganisasikan diri mereka untuk mendaftar.
SPSI, yang dibentuk dari fusi (dengan dorongan kuat dari pemerintah) serikat-serikat pekerja yang sudah ada pada 1973, adalah organisasi serikat pekerja paling tua. Ketua SPSI dan banyak anggota dewan eksekutifnya adalah anggota GOLKAR dan angota organisasi-organisasi di bawahnya. Pada bulan Agustus pemimpin SPSI pecah karena soal pembentukan kembali struktur federasi tersebut. Menyusul perpecahan itu, Departemen Tenaga Kerja menyatakan bahwa mereka tidak akan campur tangan lagi dalam sengketa struktur organisasi serikat pekerja atau memberi pengarahan pada serikat mana pun.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan yang disahkan pada Oktober 1997, pekerja boleh membentuk serikat pekerja atas dasar "konsultasi demokratis" dengan para pekerja di perusahaan yang sama dan boleh bergabung dengan serikat-serikat pekerja lain untuk membentuk federasi sektoral dan lintas sektoral. Undang-undang itu dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Oktober, tapi pada bulan itu DPR mengamandemennya untuk menunda pelaksanaannya sampai 1 Oktober 2000 agar ada waktu untuk revisi, konsultasi dengan kelompok-kelompok bersangkutan, dan mempersiapkan peraturan pelaksanaannya.
Meskipun, sebagaimana dengan organisasi massa lainnya, pemerintah dapat membubarkan suatu serikat pekerja jika serikat itu diangggap bertentangan dengan Pancasila, pemerintah belum pernah melakukan hal itu, dan belum ada undang-undang atau peraturan yang memerinci prosedur untuk pembubaran serikat pekerja.
Dua organisasi pekerja yang semula dianggap tidak sah oleh pemerintah, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sekarang beroperasi secara terbuka. Sejak bulan Mei AJI, dibentuk pada 1994 oleh para wartawan yang kecewa dengan PWI yang didukung pemerintah, sudah melakukan kegiatannya tanpa hambatan. Pendiri dan Ketua Umum SBSI Muchtar Pakpahan dibebaskan setelah ditahan selama dua tahun dan semua tuduhan dan vonis terhadap dirinya dihapus pada bulan Mei. Namun SBSI, yang dibentuk pada 1992 terus mendapat gangguan. Misalnya, pihak militer dan polisi menghalangi SBSI untuk melakukan pawai raksasa di DPR pada bulan Juni (lihat Bagian 2.b.). Pada bulan Juli komandan militer setempat membatalkan pertemuan antara Pakpahan dan wakil-wakil majikan di Solo, Jawa Tengah. Masih di bulan itu, para pejabat setempat membubarkan pelatihan anggota SBSI di Sumatra Utara dan menyerang para pemimpin SBSI, dan pasukan keamanan memukul dan menahan para wakil SBSI di Tangerang (dekat Jakarta) yang ingin mendaftarkan sebuah unit SBSI tingkat pabrik di Departemen Tenaga Kerja. SBSI menuduh bahwa banyak perusahaan terus memecat anggota SBSI karena afiliasi mereka dengan serikat pekerja itu atau karena mereka berusaha mengorganisasikan unit-unit SBSI di pabrik-pabrik mereka. Ini juga merupakan masalah yang dijumpai organisasi dan aktivis pekerja lain dalam membentuk serikat-serikat pekerja. Selain itu, SBSI mengeluhkan sulitnya mendaftarkan beberapa unit serikatnya di tingkat pabrik.
Pegawai negeri harus menjadi anggota KORPRI, persatuan non-serikat pekerja yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Pegawai BUMN, yakni perusahaan yang setidaknya lima persen sahamnya dimiliki pemerintah, biasanya diwajibkan menjadi anggota KORPRI, tapi ada sejumlah kecil BUMN yang mempunyai unit SPSI. Para guru wajib menjadi anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Meskipun secara teknis dianggap sebagai serikat pekerja, PGRI terus berfungsi lebih sebagai organisasi kesejahteraan dan tidak tampak terlibat dalam kegiatan serikat pekerja seperti tawar-menawar kolektif. Iuran wajib KORPRI dan PGRI diambil langsung dari gaji mereka.
Pada akhir 1995 pemerintah mengumumkan niatnya untuk melunakkan sebuah peraturan yang mewajibkan persetujuan polisi bagi pertemuan antara lima orang atau lebih dari semua organisasi di luar kantor atau jam kerja normal. Tapi dalam prakteknya peraturan ini terus diterapkan pada pertemuan serikat pekerja. Izin terus diberikan kepada SPSI, tapi SBSI dan organisasi pekerja lainnya menuduh bahwa pejabat sipil dan militer setempat dalam sejumlah kejadian menghambat atau menolak memberikan izin berkumpul bagi mereka bahkan setelah proses pendaftaran dibuka pada bulan Mei.
Pada 1994 Konfederasi Serikat Pekerja Bebas Internasional (International Confederation of Free Trade Unions) secara resmi melayangkan pengaduan terhadap Indonesia ke Organisasi Buruh Intenasional, ILO. Mereka menuduh pemerintah Indonesia menolak memberi izin kepada para pekerja untuk membentuk serikat pekerja atas pilihan mereka sendiri, mengganggu organisasi pekerja independen, dan melakukan tindakan-tindakan lain yang bertentangan dengan standar kebebasan berserikat dan hak atas tawar-menawar kolektif ILO. Pada awal Juni, Komite Kebebasan Berserikat ILO menyatakan bahwa pelepasan Muchtar Pakpahan dan para pemimpin SBIS yang lain merupakan langkah yang penting dan positif dalam kaitannya dengan kebebasan berserikat, dan mereka berharap bahwa hal ini akan menjadi salah satu rangkaian upaya positif menuju ke penghormatan penuh pada kebebasan berserikat.
Meskipun Pancasila menganjurkan penyelesaian masalah pekerja-majikan melalui mufakat, semua pekerja terorganisir, kecuali pegawai negeri, mempunyai hak untuk mogok. Para pekerja BUMN dan guru jarang menggunakan hak ini, tapi pemogokan di sektor swasta sering terjadi. Sebelum pemogokan dilakukan secara sah di sektor swasta, undang-undang mewajibkan dilakukannya penengahan intensif oleh Departemen Tenaga Kerja dan pemberitahuan terlebih dulu tentang niat untuk mogok. Tapi persetujuan tidak diperlukan. Dalam praktek, prosedur penyelesaian sengketa jarang diikuti, dan pemberitahuan resmi tentang niat untuk mogok jarang diberikan karena prosedur Departemen Tenaga Kerja lamban dan kurang dipercaya oleh para pekerja. Karena itu, pemogokan mendadak cenderung muncul akibat dari keluhan berkepanjangan, upaya pihak majikan untuk mencegah pembentukan cabang serikat pekerja, atau penolakan atas tunjangan atau hak mereka yang sah menurut undang-undang. Pemerintah menyatakan bahwa mereka akan menggarap masalah prosedur mogok dan penyelesaian sengketa industrial dalam merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan 1997 dan dalam sebuah perundang-undangan baru tentang penyelesaian sengketa.
Menurut catatan Departemen Tenaga Kerja, ada 234 pemogokan yang melibatkan 141.495 pekerja selama 1998. Namun sejak 1997 pemerintah hanya menganggap sebagai pemogokan jika pemogokan itu menyebabkan hilangnya waktu produksi paling tidak sehari penuh. Pemogokan atau unjuk rasa yang lebih pendek lebih sering terjadi; tapi polisi menghitung 496 kasus pemogokan atau bentuk lain tindakan perburuhan selama tahun itu. Pemogokan terbesar melibatkan sekitar 30.000 pekerja dari sebuah perusahaan manufaktur di Surabaya yang terjadi pada bulan Juni, dan kemudian bulan November. Mereka menuntut kenaikan upah dan tunjangan. Seorang pekerja tewas akibat luka-luka, kabarnya setelah dipukul dengan popor senapan dalam bentrok dengan polisi. Setelah terjadi pemogokan periodis pada bulan Juli yang melibatkan beberapa ribu pekerja di sebuah pabrik tekstil di Solo, Jawa Tengah, sekelompok 750 pekerja berdemonstrasi beberapa hari di depan kantor Departemen Tenaga Kerja dan kantor-kantor lain di Jakarta. Sembilan belas dari pekerja itu mengalami luka-luka dalam bentrokan dengan poilisi ketika demonstran memblokir sebuah jalan raya yang padat di Jakarta. Mereka meninggalkan Jakarta setelah Badan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (sebuah lembaga pemerintah) menyatakan bahwa perusahaan itu harus mempekerjakan mereka kembali. Namun perusahaan menentang keputusan itu di pengadilan dan menolak mempekerjakan mereka kembali. Pada bulan Oktober polisi menembakkan peluru karet dan memukuli demonstran di sebuah pabrik di Medan, Sumatra Utara, setelah pekerja mulai melempari pabrik itu dan petugas keamanan dengan batu. Setidaknya sembilan pekerja dan dua orang polisi cidera. Beberapa pemogokan lain selama tahun 1998 mengakibatkan kerusakan pabrik oleh para pekerja.
SPSI melakukan kontak internasional tapi satu-satunya afiliasi serikat pekerja internasionalnya sebagai suatu federasi hanyalah dalam Dewan Serikat Pekerja ASEAN. Beberapa serikat pekerja sektoral dalam SPSI menjadi anggota sejumlah sekretariat serikat pekerja internasional. SBSI berafiliasi dengan Konfederasi Buruh Dunia dan beberapa sekretariat serikat pekerja internasional.


b. Hak Untuk Berserikat dan Tawar-Menawar Kolektif
Tawar-menawar kolektif dilindungi undang-undang, dan Departemen Tenaga Kerja mendorongnya dalam konteks ideologi negara, Pancasila. Sampai 1994 hanya serikat pekerja yang diakui -- SPSI dan unsur-unsurnya -- yang boleh secara hukum terlibat dalam tawar-menawar kolektif. Sejak meratifikasi Konvensi ILO No. 87 dan mengeluarkan sebuah peraturan baru mengenai pendaftaran serikat pekerja pada bulan Mei, pemerintah membolehkan organisasi pekerja baru yang terdaftar pada pemerintah untuk membuat perjanjian yang mengikat secara hukum dengan majikan mereka.
Di perusahaan yang tidak ada serikat pekerjanya, pemerintah tidak mendorong pekerja untuk mencari bantuan dari luar pemerintah, misalnya dalam konsultasi dengan majikan mengenai peraturan perusahaan. Sebaliknya, Departemen Tenaga Kerja lebih suka jika pekerja meminta bantuan darinya dan percaya bahwa peranan departemen itu adalah untuk melindungi pekerja. Ada laporan yang dapat dipercaya bahwa bagi banyak perusahaan, konsultasi hanya bersifat asal-asalan dan biasanya dilakukan dengan pekerja yang dipilih oleh pihak manajemen; ada juga laporan yang dapat dipercaya tentang hal yang sebaliknya di perusahaan asing. Menurut data pemerintah, kira-kira 80 persen unit SPSI tingkat pabrik mempunyai persetujuan tawar-menawar kolektif . Setinggi apa tingkat kebebasan persetujuan ini dirundingkan antara serikat pekerja dengan pengurus tanpa campur tangan pemerintah bervariasi. Menurut peraturan, perundingan harus diselesaikan dalam 30 hari atau diserahkan kepada Departemen Tenaga Kerja untuk ditengahi dan didamaikan atau dibawa ke perwasitan. Kebanyakan perundingan dapat selesai dalam jangka waktu 30 hari. Perjanjian berlaku selama dua tahun dan dapat diperpanjang selama satu tahun.
Menurut sejumlah LSM yang terlibat dalam masalah perburuhan, dalam praktek sekarang ketentuan mengenai persetujuan tawar-menawar kolektif jarang berkaitan dengan isu di luar standar minimum sah yang ditetapkan pemerintah, dan persetujuan itu sering hanya disodorkan kepada wakil pekerja untuk ditandatangani ketimbang untuk dirundingkan. SPSI menyatakan pada September 1997 bahwa dari 23.525 persetujuan tawar-menawar kolektif yang ditandatangani antara majikan dan pekerja, 10.776 di antaranya adalah persetujuan "imitasi" belaka karena dibuat di perusahaan-perusahaan yang tidak mempunyai serikat pekerja. Meskipun peraturan pemerintah melarang majikan untuk mendiskriminasikan atau mengganggu pekerja yang menjadi anggota serikat, ada laporan yang dapat dipercaya dari para pejabat serikat pekerja tentang hukuman oleh majikan terhadap pekerja yang membentuk serikat pekerja, termasuk pemecatan, yang dalam prakteknya tidak dicegah atau diatasi dengan efektif. Beberapa majikan kabarnya memperingatkan pekerja mereka agar tidak mengadakan hubungan dengan pengurus serikat pekerja.
Tuduhan diskriminasi anti-serikat pekerja ditangani oleh komisi penyelesaian sengketa majikan-pekerja tingkat regional atau nasional, dan keputusan mereka dapat dimintakan banding ke PTUN. Pada September 1997 PTUN mencabut keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Perburuhan nasional yang memerintahkan Hong Kong Bank agar mempekerjakan kembali ke-166 karyawannya yang melakukan pemogokan, meskipun peraturan pemerintah melarang pemecatan pekerja hanya karena mereka mogok atau melakukan jenis lain kegiatan serikat pekerja. Keputusan demikian membuat banyak anggota serikat pekerja menyimpulkan bahwa komisi penyelesaian sengketa pada umumnya berpihak pada majikan. Akibatnya, pekerja sering menyampaikan keluhan mereka langsung kepada Komnas HAM, DPR, dan LSM. Keputusan administrasi yang memihak pada buruh yang dipecat cenderung berupa pembayaran uang saja; mereka jarang dipekerjakan kembali. Undang-undang mewajibkan majikan untuk mendapatkan persetujuan dari komisi penyelesaian sengketa perburuhan sebelum memecat pekerja, tapi undang-undang ini dalam prakteknya sering diabaikan.
Mengomentari diskriminasi anti-serikat pekerja dan pembatasan hak untuk berserikat dan tawar-menawar kolektif, Komite Ahli ILO bidang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi pada Juni menyatakan harapannya kepada pemerintah agar segera melakukan langkah-langkah yang perlu guna menyesuaikan perundang-undangan Indonesia, termasuk Undang-Undang Ketenagakerjaan 1997, dengan Konvensi ILO No. 98 mengenai hak untuk berserikat dan melakukan tawar-menawar kolektif.
Pada 1996, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan sebuah peratuan baru yang mengizinkan serikat pekerja yang berafiliasi dengan SPSI untuk menarik iuran perserikatan langsung melalui sistem check-off (pemotongan), ketimbang Departemen Tenaga Kerja menarik iuran tersebut dan mengirimkannya ke SPSI. Pelaksanaan sistem ini tetap tidak merata, tapi pengamat perburuhan pada umumnya percaya bahwa sistem tersebut memberi kekuatan lebih besar kepada unit-unit serikat pekerja tingkat pabrik di mana sistem itu dipakai. Para pejabat serikat pekerja di kantor pusat SPSI mengatakan bahwa tidak semua cabang serikat pekerja mengirimkan sebagian iuran yang terkumpul ke kantor regional dan pusat sebagaimana diatur dalam peraturan SPSI.
Polisi, begitu juga militer, terus terlibat dalam masalah perburuhan, meskipun sejak pertengahan 1990-an ada semacam pergeseran dari campur tangan terbuka dan unjuk kekuatan oleh pasukan berseragam ke upaya-upaya yang kurang mencolok. Akan tetapi, pada bulan Juni pasukan tentara yang menjaga sebuah pabrik baja di dekat Jakarta dalam suatu pemogokan menembakkan peluru karet kepada para pekerja pemogok yang melempari mereka dengan batu dan botol. Dua puluh tiga pekerja dan tiga orang tentara cidera. Dalam beberapa kejadian pasukan keamanan melakukan campur tangan dalam kegiatan SBSI (lihat Bagian 6.a.) . Tapi bentuk paling umum keterlibatan militer dalam masalah perburuhan, menurut para wakil serikat pekerja dan LSM, adalah pola kolusi antara tentara, polisi dan majikan yang sudah berjalan lama, yang biasanya berupa intimidasi terhadap pekerja oleh aparat keamanan berpakaian preman. Majikan dan wakil serikat pekerja juga mengeluhkan "biaya siluman" korupsi, yang menurut mereka dan pihak lain mencapai 30 persen dari pengeluaran perusahaan.
Menanggapi kritik atas keterlibatan aparat keamanan Indonesia dalam masalah perburuhan pada konferensi buruh internasional bulan Juni, Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris berkirim surat kepada Menko Polkam Feisal Tanjung meminta agar instansi pemerintah mengizinkan sengketa perburuhan diselesaikan menurut undang-undang oleh Departemen Tenaga Kerja. Menko Polkam kemudian mengirimkan surat kepada Menteri Pertahanan dan departemen-departemen pemerintah lainnya meminta agar mereka memperhatikan permohonan Menaker dan melaksanakan suatu kebijakan yang mengizinkan sengketa perburuhan diselesaikan antara pekerja dan majikan berdasarkan prinsip-prinsip yang sudah diakui secara internasional. Sebuah keputusan tahun 1990 yang memberi BAKORSTANAS wewenang untuk melibatkan diri dalam pemogokan kerja demi stabilitas politik dan sosial tetap berlaku.
Undang-Undang Ketenagakerjaan berlaku di kawasan proses ekspor (pelabuhan) sebagaimana di bagian lain negara ini, meskipun pengamat non-pemerintah percaya bahwa dalam praktek pelaksanaan undang-undang ini di kawasan tersebut masih lemah.

c. Larangan Kerja Paksa atau Kerja Wajib
Undang-undang melarang kerja paksa dan pemerintah pada umumnya melaksanakannya. Pemerintah melarang kerja paksa dan terikat pada anak-anak, tapi tidak selalu menjalankannya dengan efektif. Ada sejumlah laporan yang dapat dipercaya bahwa beberapa ribu anak-anak dipaksa untuk bekerja di jermal-jermal ikan di lepas pantai timur Sumatra Utara dalam kondisi kerja seperti budak. Sebagian besar mereka diambil dari masyarakat petani, dan begitu mereka tiba di lokasi kerja beberapa kilometer di lepas pantai, mereka benar-benar seperti tahanan dan tidak boleh pergi selama setidaknya tiga bulan sampai pengganti mereka dapat diperoleh. Anak-anak itu mendapatkan upah rata-rata sekitar $17 sampai $32 sebulan, jauh di bawah upah minimum regional. Mereka hidup terasing di laut, bekerja 12 sampai 20 jam sehari, sering dalam kondisi yang berbahaya, dan tidur di tempat kerja tanpa fasilitas kebersihan. Ada laporan mengenai gangguan fisik, verbal, dan seksual terhadap anak-anak itu. Pada November 1997, Departemen Tenaga Kerja mengeluarkan edaran mengenai pelaksanaan undang-undang yang melarang pemakaian tenaga anak-anak di bawah umur 14 tahun di jermal ikan. Pada bulan Juli Menteri Fahmi Idris mengatakan kepada komisi parlemen bahwa pemerintah ingin mengakhiri penggunaan tenaga kerja anak-anak di jermal-jermal dan mencarikan alternatif bagi anak-anak yang bekerja di sana. Pada bulan Desember menteri Fahmi Idris menandatangani pernyataan minat, disaksikan oleh Presiden Habibie dan direktur ILO di Jakarta, yang mengikat pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO yang melarang kerja paksa paling lambat Juni 1999.
Di Kalimantan Timur, sebuah perusahaan pemegang HPH kabarnya telah menjerat para pekerja Dayak dalam lingkaran utang dan menjadikan mereka pekerja terikat (lihat Bagian 5).
Ada sejumlah laporan pada 1997 bahwa militer memaksa penduduk desa untuk melakukan kerja tanpa upah di Irian Jaya; pihak militer membantah laporan demikian (lihat Bagian 2.d.).

d. Status Praktek Pekerja Anak-Anak dan Upah Pekerja Minimum
Buruh anak-anak ada baik di kota maupun desa, dan baik di sektor formal maupun non-formal. Sebuah survei oleh Himpunan Kesejahteraan Anak Indonesia pada 1996 menemukan bahwa 1,92 juta anak-anak berumur antara 10 dan 14 tahun bekerja paling tidak 4 jam sehari. Himpunan itu percaya bahwa angka ini berarti 8,5 persen dari semua anak-anak. Namun jumlah keseluruhan anak-anak yang bekerja barangkali jauh lebih tinggi karena dokumen tentang usia anak-anak mudah sekali dipalsukan dan karena anak-anak di bawah 10 tahun tidak disertakan dalam survei itu. Angka itu diyakini sudah lebih tinggi lagi akibat krisis ekonomi 1998. Meskipun data tidak tersedia, masyarakat luas sepakat bahwa sekitar dua juta anak-anak bekerja paling tidak empat jam sehari.
Indonesia adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini. Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh anak-anak pada Maret 1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk "memajukan persyaratan yang memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan secara bertahap melarang, membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan tujuan akhir menghapuskannya." Pada bulan Desember Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris menandatangani sebuah nota minat, disaksikan oleh Presiden Habibie dan direktur ILO di Jakarta, yang mewajibkan pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO tentang usia buruh minimum paling lambat Juni 1999. Meskipun ILO telah mensponsori latihan bagi inspektur perburuhan mengenai masalah buruh anak-anak di bawah program IPEC, pelaksanaannya masih lemah.
Pemerintah mengakui adanya golongan anak-anak yang harus bekerja karena alasan sosial- ekonomi, dan pada 1987 Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan sebuah peraturan, "Perlindungan bagi Anak-Anak Yang Terpaksa Bekerja." Peraturan ini mengizinkan penggunaan anak-anak di bawah usia 14 tahun yang terpaksa bekerja untuk membantu pendapatan keluarga mereka. Peraturan ini juga mewajibkan adanya izin orang-tua, melarang pekerjaan yang berbahaya dan berat, membatasi lama kerja empat jam sehari, dan mewajibkan majikan untuk melaporkan jumlah anak yang bekerja di bawah ketentuan ini. Namun peraturan ini tidak menetapkan usia minimum untuk anak-anak dalam kategori ini, yang secara efektif menggantikan ordinansi pemerintah kolonial tahun 1925 tentang "Upaya Membatasi Buruh Anak-Anak dan Kerja Malam bagi Wanita" yang masih berlaku sebagai undang-undang sampai sekarang tentang buruh anak-anak dan yang menetapkan batas usia kerja minium 12 tahun. Peraturan tahun 1987 itu tidak diberlakukan. Belum ada majikan yang diajukan ke pengadilan atas pelanggaran terhadap peraturan tentang hakikat pekerjaan anak-anak, dan belum ada laporan yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan anak-anak.
Undang-Undang No. 1 tahun 1951 dimaksudkan untuk melaksanakan upaya perburuhan tertentu, termasuk ketentuan mengenai buruh anak-anak yang akan menggantikan perundang-undangan tahun 1925 itu. Namun peraturan pelaksanaan untuk ketentuan pekerja anak-anak belum pernah dikeluarkan. Jadi ketentuan buruh anak-anak tahun 1951 itu masih belum sah. Pemerintah melarang kerja paksa dan terikat bagi anak-anak, tapi tidak melaksanakan larangan ini secara efektif (lihat Bagian 6.c.)
Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 1997 melarang majikan mempekerjakan anak-anak di bawah umur 15 tahun, namun mereka boleh mempekerjakan anak-anak yang terpaksa bekerja karena alasan ekonomi. Undang-undang baru itu, yang dijadwalkan berlaku pada 1999, mengandung larangan serupa dengan yang ada pada peraturan tahun 1987 mengenai majikan yang mempekerjakan anak-anak. Undang-undang ini juga menyatakan bahwa remaja (antara 15 dan 17 tahun) tidak boleh bekerja pada jam-jam tertentu di malam hari, di bawah tanah, di pertambangan, atau pada pekerjaan yang bisa memberi dampak negatif pada moral, seperti di tempat-tempat hiburan.
Menurut data perburuhan pemerintah, kebanyakan buruh anak-anak bekerja di sektor pertanian, meskipun jumlah pekerja anak-anak di kota-kota sudah meningkat besar karena urbanisasi. Sebuah LSM terkemuka memperkirakan pada 1998 bahwa 1,92 juta anak-anak bekerja lebih dari empat jam sehari. Dari jumlah ini, 1,67 juta bekerja di desa-desa dan 249.000 bekerja di kota-kota. Menurut perkiraaan LSM itu, jumlah buruh anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan di pedesaan: 1,01 juta anak laki-laki dan 662.000 anak perempuan bekerja. Sebaliknya di kota-kota jumlah anak perempuan yang bekerja melampaui anak laki-laki: 119.402 anak laki-laki dan 130.000 anak perempuan bekerja.
Anak-anak lebih banyak bekerja di sektor non-formal ketimbang sektor formal. Di sektor formal pekerjaan anak-anak cenderung ada di garis batas antara ekonomi formal dan non-formal, seperti bersama-sama dengan orang tua mereka di industri rumah tangga dan di perkebunan, di toko milik keluarga atau pabrik kecil, terutama pabrik yang merupakan "satelit" bagi industri besar. Ada juga anak-anak yang bekerja di industri besar meskipun jumlahnya tidak diketahui, terutama karena dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Di sektor informal, mereka menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, atau cara lain untuk mendapatkan uang. Banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti menjadi pemulung dan tukang sampah, atau di jermal ikan dan kapal nelayan. Sebuah LSM terkemuka memperkirakan bahwa pada 1998, 3.200 anak-anak bekerja di jermal-jermal lepas pantai, sering dalam kondisi yang mengenaskan. Pekiraan lain menyebut jumlah yang lebih tinggi (lihat Bagian 6.c.). Banyak pembantu rumah tangga adalah wanita di bawah usia 15 tahun. Meskipun angka yang tepat tidak tersedia, diperkirakan jumlah pembantu rumah tangga anak-anak mencapai 1,5 juta. Para pengamat sepakat bahwa jumlah ini naik pada 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi. Sebuah survei yang dilakukan pada 1995 mengungkapkan bahwa jam kerja anak-anak ini panjang, upah mereka kecil dan mereka sering tidak sadar akan hak mereka serta sering jauh dari keluarga.
Sebuah undang-undang tahun 1994 memperpanjang masa wajib belajar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, tapi undang-undang itu belum sepenuhnya dilaksanakan karena tidak memadainya fasilitas sekolah serta kurangnya sumber daya keuangan keluarga untuk menunjang agar anak-anak tetap bersekolah. Sebuah LSM terkemuka melaporkan bahwa delapan juta anak-anak putus sekolah dasar setelah krisis ekonomi mulai pada 1997. Sejumlah majikan mempekerjakan anak-anak karena mereka lebih mudah diatur ketimbang orang dewasa, dan cenderung tidak membentuk serikat pekerja atau mengajukan tuntutan kepada majikan. Anak-anak yang bekerja di pabrik biasanya bekerja sama lamanya dengan orang dewasa. Anak-anak bekerja antara lain di industri perabotan rumah tangga dari rotan dan kayu, industri pakaian, industri sepatu, pengolahan makanan, dan pabrik mainan anak-anak.

e. Kondisi Kerja Yang Dapat Diterima
Tidak ada upah minimum nasional. Sebaliknya, dewan-dewan upah yang bekerja di bawah arahan Dewan Upah Nasional menetapkan upah minimum regional dan angka kebutuhan dasar untuk setiap provinsi -- jumlah uang yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang dan papan bagi pekerja bujang. Pemerintah menaikkan upah minimum rata-rata sebesar 70 persen (disesuaikan dengan inflasi) antara 1992 dan 1997. Namun inflasi yang tinggi pada 1998 menurunkan dengan tajam daya beli upah minimum. Setelah kenaikan upah minimum terakhir pada bulan Agustus, yang secara nasional rata-rata sebesar 15 persen, upah minimum rata-rata menjadi sebanding dengan 76 persen "kebutuhan hidup minimum" yang ditetapkan pemerintah, turun dari 95 persen pada 1997. Di Jakarta upah minimum per bulan adalah sekitar $17 (Rp 198.500). Tidak ada data yang dapat diandalkan mengenai jumlah majikan yang membayarkan paling tidak upah minimum. Pengamat independen memperkirakan kisaran antara 30 dan 60 persen. Pelaksanaan upah minimum dan peraturan perburuhan lainnya masih tidak memadai dan sanksinya ringan, meskipun undang-undang ketenagakerjaan yang baru, yang mulai berlaku pada Oktober setelah direvisi, dengan menaikkan denda bagi majikan yang tidak membayarkan upah minimum dari $8 (Rp. 100.000) menjadi $ 17 (Rp 200.000). Menurut data pemerintah, 57 perusahaan meminta keringanan dari kenaikan upah minimum dengan alasan mereka bisa gulung tikar. Departemen Tenaga Kerja mengabulkan 43 permohonan dan menolak 14 lainnya.
Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan menteri menetapkan berbagai tunjangan kepada buruh seperti tunjangan sosial, dan pekerja di fasilitas yang lebih modern sering menerima tunjangan kesehatan, makan dan angkutan cuma-cuma. Undang-undang menetapkan lama kerja tujuh atau delapan jam sehari dan 40 jam seminggu, dengan waktu istirahat 30 menit untuk setiap empat jam kerja.
Undang-undang itu juga mewajibkan satu hari libur per minggu. Upah kerja lembur harian adalah 12 kali upah per jam untuk jam pertama, dan dua kali upah per jam pada jam-jam berikutnya. Peraturan itu membolehkan majikan menyimpang dari jam kerja normal setelah mengajukan permohonan kepada menteri tenaga kerja dan atas persetujuan pekerja. Pekerja di industri yang membuat barang eceran untuk diekspor sering bekerja lembur untuk memenuhi kuota kontrak. Pelaksanaan undang-undang tentang tunjangan dan standar kerja bervariasi dari sektor ke sektor dan berdasarkan wilayah. Pelanggaran oleh majikan atas persyaratan hukum sangat lazim dan sering mengakibatkan terjadinya pemogokan dan protes pekerja. Menteri Tenaga Kerja terus mendesak majikan secara terbuka agar menaati undang-undang, namun pada umumnya pelaksanaan dan pengawasan pemerintah atas standar perburuhan tetap lemah.
Baik undang-undang maupun peraturan menyediakan standar minimum atas kesehatan dan keselamatan kerja. Bulan Januari 1997 pemerintah mengumumkan sebuah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di mana perusahaan-perusahaan dengan 100 pekerja dapat memperoleh pengakuan publik atas kepatuhan mereka pada standar kesehatan dan keselamatan dengan mengikuti prosedur audit keselamatan kerja. Di sektor minyak yang umumnya dikelola dengan model Barat, program keselamatan dan kesehatan kerja berjalan cukup baik. Tetapi di 100.000 perusahaan besar yang terdaftar di negara ini di luar sektor minyak, kualitas program kesehatan dan keselamatan kerjanya sangat bervariasi. Pelaksanaan standar keselamatan dan kesehatan kerja sangat terhambat oleh kurangnya inspektur yang berkualitas dari Departemen Tenaga Kerja serta oleh rendahnya perhatian pekerja pada praktek keselamatan dan kesehatan kerja yang baik. Tuduhan korupsi yang dilakukan oleh para inspektur merupakan hal biasa. Pekerja wajib melaporkan kondisi kerja yang berbahaya. Majikan dilarang oleh undang-undang melakukan pembalasan terhadap mereka yang melaporkannya, tapi undang-undang itu tidak dilaksanakan secara efektif. Akibatnya, pekerja yang menghindar dari lingkungan kerja yang berbahaya bisa kehilangan pekerjaan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar