Jumat, 01 Oktober 2010

Marsinah

GANJUK, 29/4 - MARSINAH. Seorang kakek menabur bunga di makam pahlawan para buruh, Marsinah, di Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur, Selasa (29/4). Menjelang hari buruh internasional yang diperingati pada 1 Mei, keluarga aktivis buruh Marsinah yang dibunuh pada 1993 ini berharap perjuangannya untuk hak-hak kaum buruh tetap dilanjutkan. FOTO ANTARA/Arief Priyono.



Gubuk tua di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk, menjadi saksi bisu kematiannya. Pembunuh sebenarnya masih menjadi tanda tanya. Bahkan, hingga 16 tahun berselang. Pabrik tempatnya bekerja kini lenyap oleh luapan lumpur panas Lapindo.


Marsinah asal Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, bukanlah buruh yang aktif di serikat pekerja. Kondisi yang serba terbatas membuatnya harus mencari kerja sampingan. Di kontrakannya di daerah Siring, Porong, Sidoarjo, Marsinah terkadang menerima order menjahit. Kadang juga berjualan untuk menutup kebutuhan.
 
Kondisi perburuhan yang kurang memenuhi rasa keadilan tidak hanya terjadi di era reformasi ini. Di era rezim Orde Baru, upah tidak layak dan terbelenggunya mereka akibat serikat pekerja bentukan pemerintah, menjadi jurang ketidakadilan ketika itu. Hal yang wajar pemogokan kerap terjadi. Dan tentara selalu ikut campur tangan menghadapi pemogokan buruh, termasuk di PT Citra Putra Surya, perusahaan arloji di Sidoarjo, Jawa Timur, tempat Marsinah bekerja.
 
Kondisi itu tidak menyurutkan buruh PT CPS untuk menuntut hak, pada 3 dan 4 Mei 1993. Upah minimum regional (UMR) yang mereka terima jauh dari upah minimum yang telah ditentukan. Mereka hanya mendapatkan Rp 1.700 per hari, sementara upah minimum yang seharusnya diberikan perusahaan Rp 2.250. "Tuntutan kami berikutnya adalah bubarkan SPSI, tapi Depnaker langsung berdiri dan menyatakan, ‘ini ciri-ciri dari PKI’. Alasannya, SPSI itu bentukan pemerintah dan legal. Kalau melawan langsung dinyatakan PKI. Kami sangat ketakutan kalau di cap sampai sejauh itu," kata Klowor, pemimpin aksi ketika itu, pada peringatan malam kebudayaan “Marsinah Menggugat” di pelataran kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
 
Akibat desakan para buruh, manajemen PT CPS pun menyatakan akan memenuhi tuntutan buruh, meski belum secara tertulis. Tiba-tiba pada 5 Mei beberapa buruh yang ikut pemogokan dipanggil untuk rapat dengan perusahaan dengan disaksikan Depnaker, di sebuah tempat yang mungkin tidak masuk akal. Karena tidak masuk akal itulah yang membuat Marsinah secara spontan mendatangi tempat perundingan ulang tersebut: Markas Komando Distrik Militer Sidoarjo.
 
Marsinah merasa terkejut. Mengapa harus ada perundingan ulang di Kodim Sidoarjo? Dia juga terkejut terkait alotnya perundingan dan ancaman PHK terhadap temannya. Padahal, sebelumnya perusahaan menyepakati akan mengabulkan tuntutan buruh.
 
Sendirian, tanpa teman, Marsinah mendatangi Makodim Sidoarjo. Usai pulang kerja shift pertama, sekitar magrib, dia datang dengan ojek. Sejak itulah Marsinah lenyap. Dan masyarakat dikagetkan setelah ditemukan mayat perempuan pada 9 Mei 1993. Melalui sebuah robekan resi wesel diketahui mayat itu Marsinah. Buruh pabrik arloji itu menemui kematian ketika berusaha menanyakan keberadaan temannya. Seorang buruh yang menuntut kekurangan Rp 550 dari upah minimum regional, sesuai surat edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 1992.
 
Alibi Pemerkosaan
Pengadilan “sesat” berlangsung di Pengadilan Negeri Sidoarjo, karena yang terungkap di pengadilan adalah Marsinah tewas karena diperkosa. Secara forensik tidak ditemukan sama sekali bukti yang menunjukkan adanya kerusakan yang mengarah pada pemerkosaan. Namun, skenario “yang maha berkuasa” ketika itu mengatakan Marsinah diperkosa. "Ada orang yang direkayasa untuk melakukan pembunuhan terhadap Marsinah," kata Hari Widodo, mantan koordinator Tim Pencari Fakta Kasus Marsinah, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
 
Sementara fakta forensik dari RSUD Nganjuk menyatakan tidak ada tanda-tanda Marsinah diperkosa. Tulang panggul hancur total yang tidak disebabkan benda keras. Ketika persidangan kasus Mutiari, Direktur Personalia PT CPS, dimulai di Pengadilan Negeri Sidoarjo, jasad Marsinah kembali diangkat dan diautopsi untuk kedua kalinya. Hasilnya, ditemukan tulang panggul dan leher hancur. "Fakta semacam ini tidak pernah diungkap di pengadilan. Kita bisa mengambil kesimpulan sendiri. Bagaimana mungkin tubuh manusia yang tidak ditemukan luka, tapi hancur di bagian dalamnya? Kita bisa simpulkan bagaimana Marsinah dibunuh," ujar Hari.
 
Pengadilan tingkat pertama, 7 orang manajemen PT CPS dinyatakan bersalah. Di tingkat banding keputusan diperkuat dan di tingkat kasasi dinyatakan tidak bersalah. Dengan selesainya pengadilan ini, kasus pembunuhan Marsinah tetap menjadi gelap. "Yang jelas, Marsinah tidak pernah diperkosa. Tapi, Marsinah dibunuh dengan menggunakan alibi pemerkosaan. Dan itu secara sadar, digunakan oleh pembunuhnya," kata Hari.
 
Bukti dan saksi menunjukkan ada perundingan di Markas Kodim V Brawijaya Sidoarjo. Keterkaitannya dengan tentara kelihatan dari awal. Karena hal ini pula, desakan penuntasan kasus ini terus membesar ketika itu. "Kasus ini tidak hanya menjadi urusan di tingkat lokal, karena ketika masa rezim Soeharto peran badan intelijen ABRI sangat menentukan. Ini skenario sampai mereka bisa merekayasa pengadilan, tidak hanya menjadi urusan Jawa Timur, tapi juga menjadi urusan Jakarta pada saat itu," kata Heri.
 
Sejak era presiden Soeharto, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri, kematian Marsinah coba diangkat lagi ke permukaan, tapi kejelasan itu tetap nihil. Hukum di negeri yang demokratis ini seakan juga terkubur dengan jasad Marsinah. Skenario besar untuk membunuh Marsinah masih tertutup rapat. Hilangnya para petinggi PT CPS selama satu bulan sebelum ditemukan di Polda Jawa Timur juga belum terungkap dengan pasti. Fenomena hukum dan keadilan yang nyaris terhukum.Sistem hukum yang selalu menempatkan keadilan buruh pada strata terendah.

Marsinah Kini
Bagi para aktivis buruh, sosok Marsinah adalah perempuan luar biasa. Tidak hanya memperjuangkan kepentingan individu, tapi juga kepentingan seluruh buruh dan keluarganya. ”Ini menjadi motivasi untuk melawan musuh kami sebenarnya. Tidak hanya pemilik modal, tapi konspirasi di antara birokrasi penguasa negara dan pengusaha semakin solid, yang tidak pernah berpihak pada keadilan. Buruh hanya ingin mendapatkan keadilan. Itu saja,” kata Nining Elitos, Ketua Umum Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia.
 
Orang hidup butuh pekerjaan. Namun bukan berarti pekerja bisa ditindas begitu saja oleh pemodal. Harus ada kesetaraan antara keduanya. Hasil produksi juga harus bisa dinikmati oleh buruh. Selama 16 tahun terakhir, setelah Marsinah dibunuh, tidak ada perubahan yang signifikan. Sekarang justru semakin parah dan semakin tidak jelas. Kepastian kerja dan penghidupan yang layak bagi rakyat masih jauh dari harapan. ”Ini adalah suntikan, yang mau membunuh rakyat harus dilawan, untuk menghilangkan segala ketidakadilan. Kenapa buruh selalu dibuat ancaman? Kita hanya menuntut hak. Sama sekali tidak ada memanusiakan manusia di pemerintah kita,” ujar Nining.
 
Buruh belum mendapatkan keadilan sejati dari pemerintah. Buruh harus menyatukan kekuatannya. Seperti dikatakan Marsinah kepada Klowor, buruh harus bersatu, buang kepentingan individu, dan kedepankan kepentingan buruh dan rakyat. Meski Marsinah telah tiada, ”Marsinah-Marsinah” lain tetap meneruskan semangatnya untuk terus menggugat. (E6)

Sumber: VHRmedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar